Pemilu, Antara Tradisi dan Harapan Rakyat

Terhitung mulai hari ini, pemilihan umum untuk memilih anggota legislative akan dilaksanakan tinggal dalam sisa waktu 9 hari. Kamis 9 April pekan depan, pemilihan umum dengan cara baru yakni mencontreng bukan lagi mencoblos, akan dilaksanakan oleh jutaan rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari Sabang sampai Merauke. Mulai dari perkotaan hingga pelosok negeri tidak luput dari pelaksanaan pesta demokrasi dengan system baru yang belum diketahui dengan baik oleh banyak warga buta aksara ini.

Bagi masyarakat, pemilu mungkin bukan hal yang baru bagi mereka. Mereka memberikan hak pilihnya, sesuai hak politik yang dijamin oleh Negara kepada mereka. Banyak yang mengerti arti mengapa mereka memilih serta memaknai pilihan mereka di surat suara. Namun juga sangat banyak yang tidak mengerti mengapa mereka memberi pilihan. Singkatnya bagi masyarakat, pemilu sudah merupakan “tradsi” politik yang belum mendewasakan mereka hingga saat ini.
Pemilih bahkan banyak yang sekedar memberikan suaranya untuk mememunuhi hak pilih mereka saja, karena pengaruh teman, keluarga atau tim sukses yang telah memberikan kampanye dalam bentuk yang paling banyak memberikan mereka materi kampanye kuno dengan janji-janji akan melasanakan perubahan dan memperjuangkan masyarakat. Tidak banyak yang betul – betul mengerti dan tertarik dengan program partai maupun caleg, selain hanya mengikuti sebuah tradisi.
Namun, terlepas dari sekedar tradisi atau sebuah pemenuhan hak politik, pemilu tidak akan berlalu begitu saja. Hasil pemilu sangat menentukan siapa yang akan menjadi pembawa aspirasi masyarakat. Meskipun banyak orang yang “bosan” dengan pemilu tidak memberikan suaranya alias golput, namun hasil pemilihan tetap tak bergeming. Hasil pemilihan tetap sah tanpa mempedulikan “hak” golput yang mungkin dijalankan seseorang atau sebagian orang.
Hasil pemilu yang kemudian menghantarkan partai dan caleg peraih suara terbanyak melenggang menuju kursi empuk sebagai anggota DPRD dengan gaji dan tunjangan jabatan yang lumayan tetap menjadi bagian dari mereka yang sedang di payungi dewi fortuna.
Keberuntungan yang membawa mereka sering kali melupakan janji di masa “jual diri alias kampanye. Perilaku bak kacang lupa kulit ini lah yang sering kali membuat masyarakat bersikap apatis terhadap pemilu. Pikir mereka, untuk apa memberikan pilihan kepada caleg tertentu kalau hanya setelah jadi memikirkan kepentingan sendiri ? Makanya ini membuat masyarakat menganggap pemilu sebagai angin lalu. Menganggap pemilu hanya merupakan sebuah hari yang mengistirahatkan mereka bekerja dan sebuah hari yang dikhususkan untuk mereka memberikan hak pilihnya di bilik suara. Selain memberikan suaranya, mereka akan tetap kembali sebagai orang yang ada kemarin sebelum pemilu dilaksanakan.
Yang bekerja sebagai petani tradisional tetap pergi keladang mereka dengan pola pertanian yang belum mencukupi pangan keluarga untuk satu tahun. Yang menjadi pekebun tetap menjadi pekebun dengan keterbatasan pukuk akibat tak terjangkaunya harga penyubur tanaman itu, dan yang miskin tetap menjadi keluarga yang tidak mampu menyekolahkan anak mereka hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi peran lain yang tetap dilakoni masyarakat seperti biasa di masyarakat berkembang. Perubahan mungkin mereka rasakan juah dari harapan. Meskipun ada itu mungkin hanya sedikit.
Walaupun begitu, pemilu tetap adalah pemilu.

Penulis : Jati Mulyo

"Berikanlah Comment kepada Blog ini biarkan Penulis Sedikit Dihargai"


Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar
Dian Manginta
AUTHOR
12:16 PM, April 08, 2009 delete

Hello,

Aku juga baru buat tulisan tentang Pemilu. Tulisan punya judul "Pemilu...!" Lihat di halaman blogspotku di ini, ya?


Thanks,
D-

Reply
avatar